#LARAS (Lagi Waras)
Nikah
Jadi Suami Jangan Pelit Sama Istri!
Mau bahagia bareng pasangan? Baca sampai habis! (Sumber Foto) |
Pada suatu hari ada
sebuah keluarga kecil berisi pasangan suami istri dan sepasang anak.
Si suami bekerja sebagai supir sedangkan si istri menjadi penjahit
baju. Dua anaknya tumbuh sehat dan dikenal sebagai anak-anak yang
baik. Tidak pernah macam-macam, setidaknya itulah yang terlihat oleh
para tetangga dan saudara mereka.
Saya mengenal baik dengan
kedua anak tersebut. Si kakak satu sekolah dengan saya. Sedangkan
adiknya kerap menjadi teman main saya.
Saking dekatnya dengan
keluarga tersebut, si penjahit itu pernah membuatkan baju kembar
untuk saya dan anak perempuannya. Jika saya tidak nyaman berada di
rumah, saya akan menginap di rumah keluarga itu. Atau sekadar main
sembari mencicipi resep masakan, membantu bikin kue, bahkan
seringkali saya berdiskusi soal buku dengan si istri.
Suatu pagi saya mendengar
suaranya, “Ayah, uang 5 ribu gak mungkin saya pakai untuk masak.
Bumbu lagi mahal, belum beli minyak dan berasnya.”
Si Ayah malah buru-buru
jalan seakan tidak mau tahu.
Kemudian perempuan
berusia 40 tahun tersebut duduk termenung di jendela seraya berkata,
“Saya bingung dengan si Ayah, dia minta makan daging padahal
uangnya paling cuma bisa beli bahan sayur sop.”
Jangan bikin istri nangis. Bisa? (Sumber Foto) |
“Kenapa sih Ayah pelit
banget sama saya? Bahkan jempol saya sakit saja, bukannya dibelikan
obat malah dia nyuruh motong jari saja!”
Si istri seringkali
curhat kepada saya. Katanya dia sering menemukan banyak uang di
dompet si suami, namun entahlah mengapa si suami tidak pernah
memberikan seluruhnya kepada si istri untuk dikelola. Mau tidak mau,
atas dasar “taat kepada suami” lalu si istri pun tidak mau
terlalu bawel untuk menuntut ini itu. Hanya sesekali bawel, itu pun
tidak pernah didengar suami.
“Kenapa gak diambil aja
duit di dompetnya?”
“Takut, ah. Nanti
diamuk!”
Ia pun terpaksa membuka
jasa menjahit demi membeli beras, sabun, air, listrik, dan
sebagainya. Pernah ia meminta uang untuk membayar tetek bengek
tersebut namun selalu saja si suami bilang, “Kalau bisa bayar
sendiri, ya bayarlah!”
Mama saya bilang, si
istri itu menjadi bahan omongan para tetangga. Kata mereka, kok dia
kalau ke pengajian dan kondangan selalu pakai baju itu terus. Kok
dandanannya ketinggalan zaman. Kok mukanya kusam. Dan lain
sebagainya. Ya habis, sekalinya punya duit sendiri, ya buat keperluan
rumah. Suaminya mana pernah memberikan uang untuk keperluan pribadi
si istri?
Mama saya pun bilang,
“Lihat deh keluarga itu, hidupnya gitu-gitu aja, nggak kayak kita.
Iyalah gitu-gitu aja, habisnya si suami pelit banget, sih!”
“Emang kalau pelit
kenapa, Ma?”
“Biasanya jadi kurang
berkah tuh suaminya. Jadi susah maju. Makanya kalau punya suami, jangan yang pelit!”
Berangkat dari perkataan
beliau, saya pun menjadi pengamat rumah tangga orang lain sejak SMA.
Entah rumah tangga saudara dekat, tetangga, pengguna media sosial,
artis, dan sebagainya.
Salah satu saudara saya
ternyata menjadi salah satu pelaku suami pelit. Sudah menjadi benalu
di keluarga saya, pelit pula ke keluarganya sendiri. Setiap bulan dia
selalu meminta uang kepada keluarga saya, namun ternyata uang
tersebut lebih banyak digunakan untuk kebutuhan pribadinya ketimbang
untuk keluarganya. Mama saya pun geram, “Padahal saya kasih uang ke
dia biar keluarganya bisa makan!”
Kehidupannya, sejak saya
lahir hingga sudah dewasa seperti sekarang, bahkan tidak ada
perubahan sama sekali. Sudah susah, punya 5 anak, eh poligami. Dan
tetap menjadi pelit. Malas bekerja pula! Jika memungkinkan, sudikah
kiranya memberikan awards kepadanya sebagai pria yang paling
tidak bertanggung jawab sejagat raya.
Kalau ada rezeki, pasti
untuk dirinya sendiri. Tidak pernah digunakan untuk menyenangkan
keluarganya. Apa lagi menyenangkan istrinya dengan membelikan
skincare murah meriah di minimarket. Jangan harap, deh!
Istri keduanya baru-baru
ini minta cerai. Istri pertama kini sudah tidak sudi hidup bersama si
kampret itu. Anak-anaknya semacam malas bertemu dengan bapaknya.
Sudah tidak pernah dibahagiakan, dikhianati pula dengan kawin lagi
tempo hari. Sudah miskin kok nekat poligami.
Jika pria seusianya sudah
memiliki pekerjaan tetap (berwiraswasta sekalipun) dan memiliki rumah
(walau kecil dan disubsidi pemerintah), dia benar-benar tidak
memiliki apa-apa. Pernah suatu hari Mama memberikannya gerobak dan
modal untuk berjualan, namun ditolak mentah-mentah. Usai cerai dengan
istri-istrinya, kini dia tetap menjadi benalu di tengah keluarga
saya. Dan saya pun bingung mengapa dia tetap santuy, bukannya
insecure dan mulai intropeksi diri.
Kalau saya jadi dia,
mungkin saya akan berpikir, “Kawan saya sudah punya ini itu, saya
gak punya apa-apa, jadi apanya yang salah?”
Papa saya barangkali
bukanlah pria idaman. Tidak romantis, pemarah, sempat menjadi
playboy, namun tetap bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Sakit hatinya Mama barangkali sedikit terobati dengan merias diri dan
hobi memakai baju-baju ciamik kesukaannya. Lama kelamaan Papa pun
jadi lebih kepincut dengan istrinya sendiri. Tetangga pun memuji
penampilan Mama yang tidak kalah heboh dari Syahrini. Saat ada rezeki
lebih, Papa jarang menggunakan uangnya untuk kepentingan pribadi.
Semua uang dialihkan untuk properti atas nama Mama. Mungkin
kebahagiaan Mama lah yang membuat rezeki untuk Papa selalu ada-ada
saja sampai sekarang.
Lalu saya melihat
saudara-saudara lain yang tampak rumah tangganya adem-ayem saja.
Ketika melihat betapa tidak pelitnya para suami, si istri tampak
memiliki wajah yang awet muda. Rezeki keluarga mereka pun tidak ada
putusnya. Tahun ini punya rumah, tahun depan punya mobil, lalu punya
sawah, kost, keliling Eropa, dsb.
Kemudian saya menelisik
rumah tangga saudara lainnya. Baiklah, saya menemukan om saya yang
lebih mementingkan dirinya sendiri. Saat memiliki rezeki lebih, dia
malah lebih sibuk membeli barang-barang hobi mahal tanpa memberikan
sesuatu untuk istrinya sendiri. Si istri pun kesal, mengapa ia tidak
pernah sama sekali diberikan penghargaan, toh sudah menjadi ibu dan
istri yang baik. Si suami malah asyik membeli kamera DSLR produksi
terbaru, playstation, dan lainnya. Istrinya? Tidak pernah
diajak makan di restoran. Tidak pernah dibelikan baju baru. Tidak
pernah diberikan uang untuk membeli skincare bagus. Huh.
Punya hobi, boleh.
Tapi jangan lupakan si dia.
Sialnya, mungkin memang
benar, akibat pelit dengan istri sendiri sehingga terdapat masalah
dalam pekerjaan yang menyebabkan si om dirumahkan. Semua barang
hobinya terpaksa dijual untuk menyambung hidup keluarga.
Mungkin itulah cocoklogi
yang saya temukan di dalam lingkungan sekitar. Percaya tidak percaya,
namun kemungkinan besar bisa jadi benar. Di dalam agama islam sendiri
sudah disebutkan bahwa membahagiakan istri itu kewajiban suami.
Keberkahan hidup itu nyata jika mau membahagiakan istri.
Sama istri sendiri, ngapain pelit? (Sumber Foto) |
Saya pribadi merasakan
rezeki suami sudah berkali-kali lipat dari zaman ia masih single
(dan masih memacari saya). Saya pernah berada di masa dia super bokek
hingga saya lah yang mengeluarkan uang. Namun kini saya melihat suami
saya seringkali mendapatkan rezeki lebih dan saya menduga karena dia
selalu berusaha menyenangkan saya. Baru saja saya bilang belum pernah
mencicipi steak terenak, dia langsung mengajak saya ke sana.
Saya seringkali menolak saat dia mau membelikan skincare mahal,
tapi katanya tidak apa-apa toh nanti ada rezeki lagi. Dan apa yang
dia katakan benar adanya. Setelah membelikan ini-itu untuk saya, ada
saja pekerjaan yang tiba-tiba masuk.
Kalau ada teman pembaca
pria di sini, saya hanya ingin berpesan bahwasanya tidaklah sia-sia
membahagiakan pasangan hidupmu. Membahagiakan tidak perlu berupa
materi, berilah ia perhatian seperti memijit kakinya. Jangan persulit
hidupnya dengan memberikan uang dapur yang sedikit. Jangan berpikir
lama untuk memberikannya skincare kesukaannya. Bahagiakan ia
sesederhana dengan mengajaknya makan siomay di minimarket,
minum kopi di kedai yang sedang hits, atau sekadar makan cilok
kesukaannya di depan gang. Percayalah kebahagiaannya akan melahirkan
energi positif yang dapat berdampak pada hidupmu sendiri.