Kisahku Saat Menjadi Simpanan Politisi

sugar baby simpanan politisi ani ani
Kamu tidak perlu tahu siapa diriku namun silakan kamu tebak siapa politisi yang aku maksud (sumber gambar)
Hai, aku Poppy. Usiaku 19 tahun dan sedang menjalani kuliah hukum di sebuah kampus swasta terkenal di ibukota. Orang-orang bilang, aku punya bentuh tubuh yang bisa dibilang body goals, dengan kulit putih mulus. Namun di satu sisi, mereka berkata, “Tapi mukamu itu, lho, perawatan dong! Baju kamu juga kurang gaul. Beli baju baru, dong!”

Bukannya aku cuek bebek saja. Tetapi kondisi keuanganku yang tidak mencukupi, pun keluarga yang tidak mampu membayar uang kuliahku. Jadi tentu saja, aku tidak bisa membeli ini-itu dengan bebas seperti kebanyakan mahasiswi di kampus swasta yang terkenal borjuis ini.

Pada pagi hari yang mendung itu, aku termenung di dalam kelas. Ya Tuhan, mengapa aku tidak seperti teman-temanku yang lain? Mengapa aku harus berkuliah di sini? Aku tidak tahan harus menerima cacian mereka! Suatu hari nanti pasti aku bisa berubah lebih cantik dari mereka!

Seorang dosen terlihat masuk ke kelasku. Aku terkejut melihat sosok ini yang sepertinya pernah kulihat di media. Siapa, ya?

Salah satu ciri khas yang melekatnya yakni kumis tebal. Aku tidak tahu namanya, tapi aku yakin ia bukanlah orang sembarang.

“Harry, dosen ini namanya siapa?” tanyaku ke salah seorang teman pria di sebelah bangku.
“Oh, Pak Marlo. Dia salah satu staf presiden kita saat ini. Keren kan, kita punya dosen dari kalangan istimewa!”

Oh, I see. Pantas saja aku sering menemukannya di televisi, mewakili presiden dalam memberikan pernyataan.

Aku menatap Pak Marlo yang sedang membahas soal tata negara.

"Tidak semua negara bangsa memiliki konstitusi karena.....”

DEG! Mata kami saling bertatapan. Dia tersenyum kepadaku selama 2 detik kemudian buru-buru melanjutkan pembahasannya. Aku salah tingkah dan segera menundukkan kepala. Duh!

Usai kelas, Pak Marlo mendatangiku dan mengajak makan siang bersama. Aku menolaknya. Namun tatapannya seolah ingin sekali memiliki teman berbincang.

Please, sekali ini saja. Saya teraktir di restoran enak di Senayan. Ya?”

Terpaksa kemudian aku mau menemaninya. Kalau dipikir-pikir, aku tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki di Senayan.

Di dalam Mercedez miliknya, kami berbincang dan saling kepo satu sama lain. Dia menceritakan soal pengalamannya selama menjadi staf presiden hingga saat menjadi dosen di berbagai kampus.

“Lalu mengapa Pak Marlo mau jadi dosen di kampusku?”
“Sejak lama saya ingin menjadi dosen seperti ayah. Awalnya saya ingin sekali berbagi ilmu saja untuk generasi penerus. Ke depannya sih, semoga saya bisa berbagi kasih kepada salah satu mahasiswi...”

DEG! Maksudnya apa?

Aku pun menundukkan kepala. Aku takut itu sebuah kode darinya.

Di sebuah restoran kawasan Senayan, aku menikmati Salmon & Seaweed Quinoa Bowl yang sungguh enaknya luar biasa. Ia sempat menawariku red wine, namun kutolak karena aku tidak mau minum alkohol. Dosa!

“Aku suka sama kamu. Aku ingin membelanjakanmu anything agar kamu semakin cantik,” sahutnya secara tiba-tiba. What? Mengapa tiba-tiba dia mengatakan kata 'Aku' ? Biasanya juga 'Saya' seperti kebanyakan dosen.

“Kamu tinggal nge-kost di seberang kampus, ya? Perbulan 700 ribu? Kamu betah di situ?”
“Lho, bapak tahu?”
“Apa sih yang tidak aku tahu. Aku punya banyak mata-mata! Haha.”

GLEK!

“Aku mau menawarkanmu sesuatu. Pasti kamu suka!”
“Apa, Pak?”
“Mau jadi 'Teman Bahagia' untukku?”
“Maksudnya, Pak?”
“Kamu bisa tinggal di apartemen mewah dekat kampusmu itu. Aku punya satu di sana, di lantai 19. Kamu tidak usah kost lagi.”
“Hah?”
“Biaya hidupmu juga akan kutanggung. Yang terpenting kamu mau jadi 'Teman Bahagia' aku. Gimana?”
“Maksud Pak Marlo apa, ya?”
“Hahaha, masih kaku saja! Mau jadi simpanan-ku? Biar aku tidak penat-penat amat urus presidenmu itu!”

Pikiranku kalut. Aku tahu tawarannya hanya menambah dosaku saja. Tapi di lain sisi, aku sudah tidak tahan dianggap sebelah mata oleh para mahasiswi di kampus. Aku sudah tidak tahan memakai baju unbranded, tinggal di kost murah, pun makan di warteg setiap lapar melanda.

Aku ingin hidup enak!

“Mau, Pak...,” jawabku pelan.

sugar baby simpanan politisi ani ani
Menjadi simpanan penjabat itu enaknya kebangetan. Bisa tinggal tunjuk mau beli apapun! (sumber gambar)
---

Tidak terasa sudah 3 bulan aku menjadi Sugar Baby Pak Marlo. Hidupku otomatis terasa menyenangkan. Saat bangun tidur aku bisa menatap pemandangan ibukota dari apartemen. Padahal biasanya hanya melihat genteng jelek dan jalan raya yang sering dilanda banjir. Aku sudah tidak pernah makan di warteg lagi, karena uang bulanan dari Pak Marlo lebih dari cukup untuk aku nikmati dengan makan tiga kali sehari di restoran Chinese atau Japanese di bawah apartemen yang berisi pusat perbelanjaan dan kuliner. Baju-bajuku sekarang baru semua dan dari brand ternama. Wajahku sekarang lebih cantik karena perawatan ini-itu di klinik dan dibantu dengan highend make up and skincare.

Aku bahagia!

Ditambah kini Pak Marlo bukan hanya sebagai staf presiden saja. Pak Marlo kemudian diangkat menjadi seorang menteri! Aku bangga sekali memiliki 'Papa' dari kalangan menteri.

“Poppy, sekarang kamu lebih cantik. Kamu jadi model saja!” kata salah satu teman kampus yang dahulu kerap nyinyir penampilanku.

“Poppy sekarang nyambi kerja jadi apa, sih? Perasaan sekarang baju-bajunya Gucci terus. Tasnya Louis Vuitton, biasanya juga cuma VNC, haha,” kata temanku yang lain.

“Jangan-jangan... elo jadi nyambi jadi simpanan pejabat, ya?” lalu muncul seorang teman lainnya yang ternyata nguping sejak lama.

Sorry, girls. Aku harus balik ke apartemen sekarang. Ngantuk!” jawabku sembari melengos.

Hihi, padahal bukannya aku mengantuk. Namun aku tahu ini waktunya aku membahagiakan Papa Marloku tersayang!

Di dalam kamar, aku memeluk Papa yang tampak pusing memikirkan negara. Saking pusingnya, dia sekarang sudah jarang mengajar di kampus. Terhitung di tahun ini, ia hanya 3 kali masuk ke kelas. Ia kini hanya fokus kepada projek negara.

“Baru kali ini aku menemukan presiden yang doyan bikin lagu. Sempat-sempatnya ia sok jadi seniman, padahal pekerjaan banyak yang mangkrak!” ceritanya.

“Untung saja ada banyak proyek yang akan aku kerjakan, lumayan uangnya bisa untuk 7 turunan. Hahaha,” ceritanya lagi.

“Sayang, proyek apa itu? Kamu tidak ikut-ikutan korupsi, kan?”

“Eh eh eh, kok kamu ngomongnya begitu? Kamu bisa hidup enak seperti ini memangnya dari duit siapa?”

“Maksudmu?”

“Dari duit rakyat, lah! Hahahahaha.”

DEG. Sebuah pisau tajam seperti menghujam jantungku. Kok aku jadi malu sendiri bisa enak-enak di atas penderitaan rakyat?

Jangankan rakyat, kamu seharusnya malu sendiri bisa berbahagia di atas penderitaan istri Papa Marlo, Pop! - hatiku.

“Ratusan milyar akan aku miliki dan kita habiskan bersama, sayang,” sahut Papa Marlo sembari memelukku.
“Tapi... bagaimana dengan keamanan dirimu? Bagaimana jika kamu ditangkap?”
“Tenang, sayang. Ada uang, semua aman. Akan aku suap mereka semua. Hahaha.”
“Segitu yakinnya?”
“Hukum kita bisa dibeli, sayang. Kalaupun aku ditangkap, aku bisa keluar tanpa terendus media. Lagi pula jadi koruptor itu enak, fasilitas penjara bisa semewah mungkin, kami pun bisa tetap bekerja dari jeruji sel. Paling lama juga 4 tahun. Kamu tetap bisa menemaniku di sana nantinya. Hahaha.”

“Sayang, aku tidak mau itu terjadi...”
“Tenang, Poppy sayangku cintaku, semua bisa terjadi tapi kamu akan tetap tenang bersamaku...”

Ia lalu mengecupku mesra.

“Besok kita ke Makassar, ya. Temani aku untuk mengurus usaha di kampungku.”
“Iya Papa Marlo sayang. Tapi habis itu temani belanja dong di Singapur. Aku sudah pesan tas Louis Vuitton edisi terbaru dan harus kuambil di sana.”
“Siap, Cinderellaku.”

---

Tahun demi tahun aku jalani dengan penuh kebahagiaan. Setiap bulan aku dan Papa Marlo berlibur bersama ke luar negeri karena tentu lebih aman dari endusan media dan netizen.

Namun usai berlibur dan merasakan salju pertama kali di sebuah negara maju, pada akhir tahun itu, Papa Marlo tertangkap. Tepatnya setelah 3 kali penyidikan soal kasus mangkraknya sebuah gedung mewah pemerintah di Kota Hujan.

Aku mulai ketar-ketir, takut kehidupanku yang penuh kebahagiaan ini sirna.

Namun Papa Marlo berkata kepadaku lagi, “Tenang sayang, dendanya saja hanya sekian ratus juta. Ditahan mereka hanya formalitas saja. Kita akan tetap bisa bersenang-senang...”

Jadi hopeless aku tuh, Pa...



1 comment:

Gih kasi komen. Asal jangan nyebelin, berbau SARA dan porno ye. Yang SPAMMING bakal gue HAPUS.

Makasi temen-temen. HAPPY BLOGGING! :*

Powered by Blogger.