Hadiah Kejutan Untuk Kila
Pagi ini seketika kakiku lumpuh, sangat susah digerakkan. Ya Tuhan, ada apa ini? Mengapa tiba-tiba hamba seperti ini?
“Bi Surtiiiii, tolooooongggg!!!!”
Untungnya asisten rumah tanggaku sigap langsung masuk ke kamar, sembari bingung mengapa aku berteriak sembari rebahan di atas kasur.
“Ibu, ibu kenapa?”
“Bi Surti, kakiku gak bisa digerakkan! Hiksss.”
“Maksudnya kesemutan, bu?”
“Bukan, kakiku kayak lumpuh, bi. Tolong minta Pak Supir bantu bopong aku ya. Kayaknya aku harus langsung ke rumah sakit.”
“Gak bareng sama bapak, bu?”
“Gak usah, dia syuting sampai entah kapan…”
Bi Surti langsung ke bawah dan meminta Pak Ono membopong. Pikiranku sungguh kacau, benar-benar bingung apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tiba-tiba kakiku lumpuh?
---
Setelah mengecek kondisi kaki bahkan seluruh tubuhku, Dokter Yopi bilang kalau aku sebenarnya sehat saja. Dia pun sudah paham dengan gaya hidupku yang bisa terbilang sehat.
“Jujur saya bingung. Minggu lalu saya lihat hasil general check up kamu juga bagus-bagus aja. Kenapa bisa begini, ya?”
“Dokter Yopi kan orang hebat, kenapa malah balik bertanya ke saya?”
“Bukan begitu, Dek Kila. Namun saya jadi teringat dengan beberapa pasien saya terdahulu. Secara medis tidak terdeteksi ada penyakit apa, tapi bisa tiba-tiba lumpuh.”
“Maksud dokter?”
“Maaf. Kamu punya musuh, Dek?”
“Hah? Dok, kenapa jadi personal gini, ya?”
“Sebelumnya saya minta maaf ya, Dek Kila…”
“Saya rasa, saya gak punya musuh.”
“Baiklah kalau memang itu benar. Pesan saya, tingkatkan ibadahmu, ya. Dan kalau bisa, segera cari ‘orang pintar’ terpecaya yang bisa mengobati kamu.”
“Loh, kok orang medis ngomongin ‘orang pintar’ sih? Dokter Yopi itu dokter hebat kepercayaan saya loh, kok ngomongnya begitu?”
Kami terdiam selama beberapa menit. Dokter Yopi menghela nafasnya, lalu memberikan aku secangkir teh.
“Dek Kila, saya dulu pun tidak percaya hal-hal yang seperti itu. Hingga saya menemukan sahabat saya, yang kemudian jadi pasien di sini, yang kejadiannya persis kayak kamu. Saya dan beliau sama-sama orang yang sangat logis. Hingga kami mengetahui kalau penyakit sahabat saya itu akibat santet dari lawan politiknya. Tau gak itu terjadi saat kapan? Saat sehari sebelum sahabat saya mau mulai berkampanye.”
“Tau dari mana kalau itu santet?”
“Karena saya melihat langsung ketika dia muntah paku di ruangan ini. Bayangkan, sudah dia tiba-tiba lumpuh, muntah paku pula, apa tidak ngeri? Kebetulan ada salah satu suster di sini, yang menawarkan saudaranya yang ‘pintar’. Saya bersaksi saat sahabat saya dirawat di rumah sakit ini, saya turut menjaga dan ‘si orang pintar’ itu lah yang kemudian mengobati. Saya lihat sendiri bagaimana ia mengobati sahabat saya.”
Glek, seketika bulu kudukku merinding. Aku bertanya-tanya di dalam hati, apakah kejadian lumpuhku ini karena santet? Tapi dari siapa? Aku merasa tidak punya musuh!!!
“Jadi saya harus gimana, Dok?”
“Terserah kamu. Kamu mau dirawat di sini sembari saya panggil ‘dia’?”
“Saya boleh telpon suami dulu?”
Dokter Yopi mempersilakan aku menelepon Mas Senji. Sekali, dua kali, hingga lima kali aku mencoba menghubunginya, nihil. Baiklah, sinetron stripping ini memang seringkali bikin aku kesal karena kerap bikin Mas Senji susah dihubungi.
---
Aku menyetujui Dokter Yopi untuk diopname. Untungnya aku memiliki asisten pribadi yang bisa diandalkan. Sehingga segala urusan makan, jajan, serta administrasi rumah sakit sudah tidak perlu dirisaukan lagi.
Sekarang ini, masalah kakiku lah yang benar-benar membuatku risau, kalut, bingung, entahlah semua seperti bercampur padu.
Sahabatku, Dina, tampak mengirimkan sebuah video melalui WhatsApp. Baru saja ingin kupencet notifnya, tiba-tiba seorang bapak berbaju batik masuk ke kamarku.
Ia memberi salam, memperkenalkan dirinya sebagai Abah Momon. Dokter Yopi pun hadir di kamarku dan mengenalkan Abah Momon sebagai ‘orang pintar’ yang ia maksud.
“Loh, cepat juga ya sudah sampai sini,” kataku sambil memberikan senyum manis ke Abah.
“Hehe, iya, neng. Gak jauh rumah saya, mah.”
“Abah bener bisa ngobatin saya?”
“Insha Allah, neng. Tapi punten, Abah boleh ya periksa kaki neng sebentar. Sambil saya coba telusuri dan kasih doa.”
Abah Momon memegang kakiku sembari menutup mata dan memanjatkan doa. Aku merasakan panas di kaki, pun entah kenapa seperti ada yang bergerak di kakiku. Bagaikan ada suatu hewan panjang di dalam kaki, yang menggeliat dan kemudian seperti menggigit daging kakiku.
“Neng, maaf ya sebelumnya. Kalau saya bilang mah, ini ‘kiriman’ dari orang yang gak suka sama Neng Kila,” ucap Abah.
“Kira-kira dari siapa ya, bah?”
“Pastinya dari orang yang gak suka sama kamu, neng. Saya gak bisa jawab dari siapanya. Saya butuh waktu sebentar. Boleh ya saya duduk di sofa? Kalau bisa ruangan ini digelapkan dan tidak boleh ada suara berisik. Sebab saya harus fokus.”
Aku mempersilakan Abah Momon. Sepuluh, dua puluh, lima puluh menit, Abah belum juga selesai melakukan ‘meditasi’. Aku sampai harus menahan pipis karena takut jika aku beranjak dari bangsal, aku bisa membuyarkan kefokusan Abah.
“Neng, Abah sudah selesai ‘berkomunikasi’. Seperti yang sudah saya kasih tahu sebelumnya, kalau kamu itu ‘dikirim’ orang yang gak suka sama kamu. Kalau soal siapa pelakunya, mungkin kamu gak kenal dia,” kata si Abah yang bikin aku mengernyitkan dahi.
“Maksudnya apa, ya? Apa ini kiriman nyasar?”
“Memang untuk kamu, Neng. Sepertinya ia orang luar yang suka sama suami kamu tapi gak suka kamu, neng.”
“Bah, saya bingung, jadi dia siapa? Pelakor?”
“Hmmm, saya rasa dia cuma suka sama suami neng karena suami kan artis ya, kata Dokter Yopi mah. Apa ya istilahnya, ngepens gitu lah, neng.”
“Hah? Dia fans suami saya? Lah, untuk apa saya diginiin? Untungnya apa?”
“Kayaknya dia mau bikin kamu cacat, supaya keinginan dia tercapai, neng. Kayaknya di amah ngarep suamimu beneran bisa jadi suami artis lawan mainnya di tipi.”
DEG. Segininya?
Aspriku, Jeje, emosi mendengar ucapan Abah Momon.
“Gila ya fans emak-emak suamimu itu, mba. Gak bisa bedain mana dunia nyata dan dunia peran, apa? Kenapa sampai segininya kamu diginiin? Kok jadi dia ngatur-ngatur rumah tangga orang sampe pake cara ini? Sick!!!”
Aku mencubit pipiku, berharap ini hanya mimpi saja. Ternyata benar, ini benar-benar terjadi.
Tak lama, kakiku terasa seperti ditiban beton. Aku berteriak kesakitan. Abah otomatis langsung menyemburkan air ke kakiku sembari membaca sebuah doa.
“Pergi maneh, pergi dari sini!!!!” teriak Abah.
Mataku terasa melihat sebuah kegelapan. Lalu tiba-tiba seekor ular sebesar monster, membuka mulutnya seakan ingin memakanku. Aku lantas memanjatkan Ayat Kursi dan berharap ia pergi.
---
“Mba Kila, bangun, mba!!!!” sahut Jeje sembari menepuk pundakku.
“Aku di mana?”
“Mba Kila masih di rumah sakit sama kita semua. Malam ini kita nemenin Mba ya di kamar.”
Abah Momon tampak sedang berdoa di atas sajadah dekat sofa. Jeje menyampaikan cerita kepadaku soal ‘kiriman’ ini.
“Mba, jangan kaget ya. Tadi Abah bilang, Mba Kila dikirimin santet berwujud ular. Jadi si ular itu singgah di betis Mba Kila, dia yang bikin kamu gak bisa jalan.”
“Tapi, apa benar yang mengirim ini fans suamiku?”
“Yah, gimana ya, Mba. Tau sendiri kan betapa barbarnya emak-emak pecinta sinetron si Mas Senji? Di medsos saja, mereka sampai komen nyuruh Mba cerai sama Mas. Jadi ya gak heran kalau mereka bisa senekat ini juga, Mba!”
Dreettttt…. Drreeetttt….
Smartphone-ku bergetar. Dina meneleponku.
“Lu di mana, La? Kok WA gue gak lu bales-bales?”
“Sorry, beb. Gue lagi dirawat di rumah sakit biasa. Tapi lu gak usah ke sini, kayaknya gue bakal sembuh”
“Hah? Gila lu ya, kenapa gak ngabarin gue dari tadi? Sakit apa lu? Pantesan WA gue gak juga lu baca-baca. Tapi beneran lu gak kenapa-napa? Kenapa gue gak dibolehin ke sana?”
“Udah, udah, nanti gue ceritain kalo udah cabs dari sini, ya. Abis ini gue buka WA dari lu, oke?”
“Eh eh eh, gak usah buka WA gue deh kalo gitu. Mending lu tinggalin tuh hape di meja. Terus lu langsung tidur cantik, oke?”
“Dih, apaan sih, bukannya lu tadi kesel karena WA gak gue baca?”
“Udah gampang itu mah, besok aja. Gak urgent, kok. Oke?”
Aku jadi makin penasaran mengapa si Dina tetiba melarangku seperti itu. Mencurigakan. Ditambah Dina langsung menutup sambungan tanpa say goodbye.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Tidak pikir panjang, aku langsung membuka notif WA dari Dina. Di situ terdapat sebuah video yang belumku download dengan tulisan di bawahnya:
“Beb, ini video syuting atau bukan, ya? Di medsos dan akun gosip lagi rame banget, loh. Katanya itu video di luar syuting. Bohong kan, ya? Kalo sempet, tanya ke suami, ya.”
Setelah video berhasil masuk, aku menontonnya dengan fokus. Di situ terdapat suamiku sedang memeluk lawan mainnya dengan mesra di dalam mobil. Tampak suamiku tersenyum ke kamera, sambil terus menggenggam tangan dan tersenyum manis.
Tahan. Tahan. Mungkin ini tuntutan peran. Mungkin ini scene sinetron itu. Mungkin ini gimik. Tahan. Tahan.
“Mbak, suamimu kucoba telepon kok gak aktif mulu, ya? Dari kemarin juga gak ada kabar kapan balik. Ini juga sekarang dia belum tau kamu di RS, loh.”
Aku tidak bisa menahan air mata yang menetes. Entah mengapa aku berpikiran yang tidak-tidak soal suamiku. Masih terasa tidak masuk akal jika ada yang begitu butanya mengidolakan suamiku hingga membuatku sakit begini. Di mana letak kewarasan mereka? Di mana empati mereka? Bukankah mereka itu anti perselingkuhan, tapi mengapa mereka seakan-akan ingin suamiku benar-benar berhubungan dengan lawan mainnya? Hai, aku istri sahnya!!!!
Bersambung….
**
Disclaimer: Tulisan ini hanya fiktif belaka. Jikalau ada persamaan karakter dengan seseorang atau suatu kelompok, maka itu hanya kebetulan saja. Penulis tidak mengizinkan tulisan ini dijadikan bahan konten para kreator (selain penulis) di berbagai platform. Nikmatilah setiap tulisan penulis dengan bijak.